by: Saepuloh Nawawi
Laki-laki itu seorang menejer yang terkenal di lingkungan kerjanya. Hari ini dia memanggil bawahannya yang tidak jelas apa kesalahannya.
“KAMU duduk disitu !“, suaranya sangat kencang , padahal jaraknya kurang dari dua meter, dengan berbisik sebenarnya sudah terdengar
“iiiiya pak, katanya , bawahnnya agak bingung, tumber dipanggil
Sorot mata menejer tanpak menakutkan, dengan tangan kiri di pinggang dan tangan kanan terkepal, dengan menyisakan telunjuknya. Nafas tampak terengah-engah karena emosi yang tak terhankan.
“kamu tahu, kenapa kamu dipanggil, tahu nggak…!
“tidak tahu pak”
“ Tidak tahu lagi…, tahu tidak, kamu sudah seenaknya memarahi pelanggan kita, dengan seenaknya kamu tidak sopan dengan pelanggan kita, dengan seenaknya kamu ngomong kasar dan tak berperasaan dengan pelanggan kita. Ingat kita ini adalah intitusi berakhlak, berakhlaq, berakhlaq , jadi … utamakan akhlaq “ katanya sambil sesekali menggebrak meja.
Bawahnya jadi bingung, karena dia sudah meminta maaf pada pelanggan itu dua minggu yang lalu, tetapi kenapa baru dipanggil sekarang. Yang membingungkan lagi, katanya tidak boleh marah-marah, tidak boleh ngomong kasar, harus punya perasaan, kok atasannya malah bersikaf lebih buruk.
“Satu lagi…, kamu suka terlambat, emangnya ini perusahan nenek moyangmu” suaranya semakin ketus
Bawahannya semakin bingung, karena atasanya ini selalu lebih siang. Dia memang pernah terlambat, tapi karena istrinya mau melahirkan.
“kamu harusnya berterima kasih, saya kalo marah, besok sudah lupa”
Bahawahnhya semakin heran, perasaan setiap hari marah melulu. Mungkin atasanya lupa, tapi yang dimarahi lupa nggak ya..
Kadang kala kita banyak menemukan kejanggalan dalam instutusi yang berlebel akhlaq tapi tidak memiliki prilaku yang berakhlaq. Dalam beberapa kasus kehidupan, berakhlaq hanya dibatasi pada orang tertentu. Misalnya anak harus berakhlaq, orang tua tidak perlu. Anak buah harus berakhlaq, atasan tak perlu. Akibatnya akhlaq hanya sebuah symbol, bukan kebutuhan yang tertanam dalam jiwa seseorang.
Berakhlaq harusnya dalam dalam setiap lini profesi. Tidak perduli bos atau anak buah. Justru yang paling penting adalah contoh. Bagaimana setiap orang tua, atasan, bos, manajer, direktur, atau apapun, harus lebih berakhlaq dari bawahannya. Mengapa, karena dengan berakhlaq akan lebih memudahkan seseorang mengarahkan orang lain berakhlaq.
Pada kisah di atas, hanya sebuah contoh bagaimana seorang atas yang menyuruh bawahannya berakhlaq dengan cara yang tidak berakhlaq.
Berakhlaq memang berat bagi yang tidak mau dan sombong. Berakhklaq akan berat ketika kita merasa lebih baik dari orang lain. Berakhlaq akan sulit ketika kita hanya memanfaatkan kedudukan demi kepentingan sendiri. Berakhlaq juga susah ketika kita hanya memanfaatkan kebodohan orang lain.
Ya Allah, aku berlindung dari segala keburukan.
1 komentar:
itulah yang terjadi pak.. oleh karenanya ALlah menyindir mereka QS. Ash-Shoff: 04...
Apalah artinya jabatan dan pengetahuan yang tinggi tanpa didasari oleh karakter yang kuat disertai dengan akhlak yang mulia; akhlak kepada ALlah, Rasulullah, diri sendiri dan lingkungan sekitar; termasuk kepada partner atau bawahan. Tak jarang kita lupa bahwa Rasulullah diutus untuk menyempurnakan akhlaq manusia.
Untuk itu hendaknya kita membiasakan diri untuk memulai pemurnian niat..
niat bersih-pikiran jernih-ucapan halus akan berujung pada kebiasaan.
kebiasaan yang dilakukan terus menerus akan menjadi karakter dan karakter yang kuat harus dibingkai dengan akhlak yang lurus.
Posting Komentar